Globalisasi dan Dampaknya bagi Dunia Pendidikan
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam beberapa dekade terakhir ini, masyarakat dunia diwarnai
oleh globalisasi. Di era global ini, sekat ruang dan waktu seolah-olah tiada
tampak. Jarak yang jauh terasa dekat. Disamping itu globalisasi juga bagaikan
mata pisau yang dapat menghadirkan manfaat jika dipahami secara benar dan dapat
menghadirkan dampak negatif bila tidak dipahami secara benar. Dalam pendidikan,
semakin berkembangnya zaman yang diwarnai oleh globalisasi maka pendidikan juga
harus mampu memberikan respon dan mengembangkan mutu serta kualitas dalam
bidang pendidikan agar dapat bertahan dari terpaan globalisasi.
Dalam menuju era globalisasi, Indonesia harus melakukan
reformasi dalam proses pendidikan, yaitu dengan tekanan menciptakan sistem
pendidikan yang lebih komprehensif dan fleksibel, sehingga para lulusan dapat
berfungsi secara efektif dalam kehidupan masyarakat global.
Maka dari itu, dalam makalah ini, kami berusaha mengungkap
dan membahas masalah-masalah pendidikan di era global serta memberikan beberapa
alternatif solusi guna memperkaya pengetahuan khususnya bagi mahasiswa UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Jurusan
Pendidikan Agama Islam.
B. Rumusan
masalah
1.
Apa pengertian globalisasi?
2.
Bagimana pengaruh globalisasi terhadap pendidikan?
3.
Bagaimana upaya pendidikan dalam mengatasi dampak
negatif
globalisasi
?
C. Tujuan
1.
Menjelaskan pengertian globalisasi.
2.
Menjelaskan pengaruh globalisasi terhadap
pendidikan.
3.
Menjelaskan upaya pendidikan dalam mengatasi
dampak negatif globalisasi.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN GLOBALISASI
Istilah globalisasi untuk sekarang ini sudah sering kali kita
dengar, mulai dari para pejabat sampai tukang becak pun membicarkan
globalisasi. Hal ini membuktikan betapa sudah familiarnya kata “globalisasi”
di masyarakat kita.
Pada mulanya, pengertian umum globalisasi merupakan suatu
pengertian ekonomi. Namun demikian, konsep globalisasi yang baru masuk dalam
kajian dunia uiversitas pada tahun 80-an, pertama-tama merupakan pengertian
sosiologi yang di cetuskan oleh Roland Robertson dari University of Pittsburgh.[1]
Dalam pengertian secara aspek kebahasaannya globalisasi berasal
dari bahasa Inggris “the globe” atau “La Monde” dalam bahasa Prancisnya yang artinya bumi,
dunia ini. Maka globalisasi atau “Mondalisation” dengan sederhana dapat
di artikan sebagai proses menjadikan semua satu bumi atau satu dunia.[2] Prof. Abdurrahman Mas’ud mengartikan
globalisasi yang berasal dari kata global yang menunjukan adanya kesadaran baru
bahwa dunia ini adalah sebuah kontinuitas lingkungan yang terkontruksi sebagai
kesatuan utuh. Kemudian beliau mengutip dari Marshal McLuhans yang menyebut
dunia yang diliputi kesadaran seperti ini dengan global village (desa
buana).[3]
Adapun definisi lainnya seperti yang dikutip oleh Prof. Dr. H.A.R
Tilaar dalam bukunya “Pengembangan Kreativitas dan Entrepreneurship dalam
Pendidikan Nasional”, menurut Frederic Jameson mendefinisikan
globalisasi sebagai suatu refleksi dari meluasnya komunikasi di dunia, demikian
dengan horizon dari pasar bebas, kedua kekuatan tersebut bekerja sama dengan
intensif di bandingkan di masa-masa modernitas lalu. David Held
merumuskan proses globalisasi sebagai suatu proses atau sejumlah proses yang
berisi tranformasi di dalam organisasi spasial dari hubungan-hubungan sosial
serta transaksi-transaksinya. Ronald Robertson merumuskan globalisasi
sebagai suatu konsep mengenai kompresi dunia serta intensifikasi kesadaran
dunia sebagai keseluruhan. James Mittleman merumuskan globalisasi merupakan
kompresi dari waktu dan tempat dari hubungan-hubungan sosial.[4]
Melihat beberapa definisi globalisasi di atas, dengan demikian
dapat kita ketahui beberapa hal yang bisa dikaitkan dan menjadi tanda dari
globalisasi, yaitu:
1.
Globalisasi terkait erat dengan kemajuan dan inovasi teknologi,
arus informasi atas komunikasi yang lintas batas negara.
2.
Globalisasi tidak dapat dilepaskan dari akumulasi kapital, semakin
tinggi intensitas arus investasi, keuangan dan perdagangan global.
3.
Globalisasi berkaitan dengan semakin tingginya intensitas
perpindahan manusia, pertukaran budaya, nilai dan ide yang lintas batas negara.
4.
Globalisasi di tandai dengan semakin meningkatnya tingkat
keterkaitan dan ketergantungan tidak hanya antarbangsa namun juga
antarmasyrakat.[5]
Di sinilah globalisasi sebagai sebuah modus dan upaya menjadikan
dunia yang luas ini dengan negara-negara yang
bagaikan satu rumah yang saling berdekatan layaknya satu kampung, begitu
dekat, cepat dan akan saling berinteraksi dalam jangkauan yang tak terbatas.
Dalam era globalisasi akan ada sebuah persaingan global yang sangat
liberal. Persaingan yang akan merambah hampir semua sendi-sendi kehidupan.
Mungkin bisa berawal dari segi ekonomi yang akan di permudahkan dengan sisitem
informasi dan komunikasi yang time-space
distance (ruang waktu tanpa batas). Dengan begitu ada upaya untuk
berlomba-lomba menciptkan produk yang berkaitan dengan informasi dan komunikasi
yang lebih canggih dan terus lebih canggih. Kecanggihan dan kemajuan informasi
dan telekomunikasi akan memberi dampak kepada sisi sosial dan budaya dalam
suatu bangsa maupun negara. Dalam hal ini, pendidikan kemudian terincar sebagai
salah satu segi kehidupan yang akan di pengaruhi oleh adidaya globalisasi. Jadi
begitulah sekiranya damapak menjalar dari proses globalisasi.
Dalam proses globalisasi, pastinya akan muncul sebuah perubahan
yang menjadi dampak dari adanya globalisasi di dunia ini. Semakin berkembang
dan majunya teknologi dan informasi, akan semakin mempermudah hubungan manusia.
Hubungan disini sudah tidak lagi terbatasi oleh teritorial suatu negara,
melainkan sudah merambah menuju transnasional. Maka dari itu, ada
beberapa isu yang akan timbul di masa datang terkait globalisasi seperti yang
di ajukan Baharuddin Darus yang dikutip oleh Muhtarom, antara lain:[6]
1.
Globalisasi informasi dan komunikasi.
Hal
ini sebagai akibat dari kemajuan teknologi dan sarana informasi. Arus informasi
semakin deras melalui barbagai jalur yang membawa bilai dan budaya luar yang
dapat mengakibatkan kaburnya batas-batas negara dan bangsa.
2.
Globalisasi ekonomi dan perdagangan bebas.
Hal
ini antara lain di tunjukan oleh globalisasi pasar dan berkembangnya
perusahaan-perusahaan transnasional. Hal ini didukung dengan berbagai
perjanjian dalam bidang ekonomi seperti Asean Free Trade Area (AFTA)
yang dimulai tahun 2003, lalu Asia
Pasific Economic Corporation (APEC) yang akan dilakukan mulai tahun 2020, Single
Europen Market (SEM) dan North AmericaFree Trade Area (NAFTA).
3.
Globalisasi gaya hidup, pola konsumsi, budaya, dan kesadaran.
Hal
ini terjadi melalui proses pengalihan dan tranplantasi gaya hidup baru yang
dominan, penyamaran pola konsumsi dan pertukaran budaya dimana produk-produk
kultural suatu negara dipasarkan ke suluruh dunia. Proses ini menimbulkan
perubahan cara pandang dan sosio-kultural yang bertumu pada slogan “satu dunia
untuk semua” (one world to all).
4.
Globalisasi media massa cetak dan elektronik.
Media
ini akan membuat opini melalui media canggih dan mutakhir seperti TV,
audiovisual, broadcasting, kaset, compact disk, elektronic
newspaper, iklan global.
5.
Globalisasi politik dan wawasan.
Kekuatan
arus globalisasi ini masuk melalui isu demokratisasi, HAM, lingkungan hidup,
keterbukaan dan perestroika (perubahan).
Hal-hal yang disebutkan di atas adalah isu-isu global yang akan
atau bahkan sudah terjadi di masa kini. Tinggal bagaimanakah kita mempersiapkan
diri untuk mengadapinya.
B.
MASALAH PENDIDIKAN DI ERA GLOBAL.
Globalisasi
sebagai sebuah proses terciptanya hubungan yang mendunia, selain mempengaruhi
sisi ekonomi, politik, sosial dan budaya suatau negara, globalisasi juga akan
menyentuh pada sisi pendidikan. Dimana dalam model penyelenggaraannya, sisitem
aturan maupun tujuan pendidikannya pastikan akan terpengaruhi.
1.
Munculnya generasi Mall dan handphone
Salah satu fenomena remaja yaang khas dan menonjol sejak
pertengahan dekade 1990-an adalah munculnya generasi mall. Hal ini tidak
terlepas dari proses industrialisasi pembangunan mall diberbagai penjuru kota
di Indonesia.[7]
Budaya Mall menyajikan beragam kenikmatan dan kesenangan mulai dari makanan
cepat saji hingga aneka macam fashion. Budaya nongkrong, mejeng dengan pakaian
yang serba seksi senantiasa terlihat di berbagai mall. Dalam segi bahasa pun
tidak kalah ketinggalan, para kaula muda banyak berkomunikasi dengan
menggunakan bahasa gaul seperti “geje, ababil,cabe-cabean, alay, ABG”
serta masih banyak bahasa khas anak muda lainnya. Hal itu dapat menjadi masalah
besar bagi kelestarian bahasa daerah atau nasional.
Selain generasi mall, terdapat pula generasi handphone. Generasi
ini semakin menampakkan dirinya pada akhir juli 1997. Krisis ekonomi yang
melanda Indonesia pada tahun tersebut ternyata tidak kelewat menghambat
perkembangan gaya hidup mereka. Meskipun kondisi ekonomi orang tua sedang
krisis, jumlah mereka tetap makin banyak, bahkan cenderung meningkat. Dampak
terbesar dari kehadiran generasi mall adalah meningkatnya budaya konsumerisme
dikalangan remaja khususnya tingkat SMP dan SMA.[8]
Selain dapat memunculkan tingkat konsumerisme, budaya mall juga
dapat memberi sekat antara kalangan yang suka mejeng di mall dan yang tidak.
Mereka yang tidak suka mejeng di mall akan dianggap “katrok” dan akhirnya
kepercayaan diri mereka pun perlahan dapat tereduksi. Dalam hal ini pelajar dan
siswa yang berasal dari keluarga ekonomi menengah atas akan lebih mudah dalam
menyesuaikan diri akan tetapi bagi kaum miskin hal tersebut akan terasa amat
sulit. Bagi beberapa remaja yang berasal dari keluarga tidak mampu akan menjadi
minder. Untuk mengatasi keminderan tersebut beberapa remaja berusaha untuk
mencoba mengikuti budaya mall dengan cara memeras orang tua.[9]
Jadi ekses lebih jauh dari munculnya budaya mall dan handphone
adalah membuat remaja sering tidak jujur pada dirinya sendiri, mereka malu
mengakui dirinya sebagai anak petani, buruh, dan pedagang yang pada akhirnya
mereka tidk bisa tampil apa adanya penuh kepura-puraan dan manipulatif.
Dari kasus diatas dapat kita tarik sebuah benang merah yaitu telah
terjadi jarak yang amat lebar antara tujuan ideal pendidikan dengan realita
empiris. Disatu sisi, guru mengajarkan kesederhanaan, keterbukaan, konsistensi
namun disisi lain dudaya mall menampakkan kemewahan, kepura-puraan, dan
manipulasi. Disatu sisi guru mengajarkan kreativitas, sportivitas dan
kemandirian, namun disisi lain budaya mall menawarkan kemudahan, jalan pintas
dan serba instan. Dalam hal ini seorang guru harus bisa mengisi ruang tersebut
agar siswa tidak terseret terlalu dalam kepada budaya mall dan hanphone.
Tugas seorang guru dalam membenahi dampak dari budaya mall adalah
dengan menenamkan kesederhanaan, kemandirian serta nilai-nilai kebaikan
lainnya. Hal ini dapat dillakukan dengan memahami karakteristik murid. Untuk
diwilayah perkotaan hendaknya guru dapat bersikap sebagai
motivator,inspirator,fasilitator dan teman dioalog. Haarus ada relasi antara
guru dan murid dengan pola kesetaraan, sebab dengan demikian guru bisa menjadi
kelompok sebaya bagi murid untuk bisa sharing permasalahan-permasalahan remaja.
Untuk di pedesaan guru harus bisa menonjolkan diri untuk mengajari, menggurui
dan berlaku sebagai manusia serba bisa.[10]
2.
Hilangnya kewibawaan seorang guru
Tepatnya pada tanggal 16 april 2014 termuat berita kasus pelecehan
seksual oleh guru TK JIS(Jakarta
International School) jakarta[11]. kasus
tersebut menjadi pukulan berat dalam pendidikan. Bagaimana tidak, seorang guru
yang harusnya “digugu lan ditir”) dipercaya dan ditiru justeru
menampakkan sikap kekejaman terhadap para siswanya. Jika fenomena ini terus
berlanjut, maka bisa diramalkan bahwa kelak, seluruh generasi bangsa akan
memiliki moral yang buruk. Maka dalam hal ini perlu kita pertanyakan masihkah
guru-guru di Indonesia ini memiliki kewibawaan ?
Kewibawaan yang mencerminkan kaya akan pengetahuan, kaya akan nilai
kesantunan, kaya akan nilai pengabdian seolah-olah terkikis habis tiada
membekas dlam diri guru masa kini. Kurangnya pengetahuan ditandai oleh semakin
banyaknya kasus percaloan ujian saringan masuk PNS untuk keguruan, banyaknya
karya-karya tulisan para guru atau calon guru yang comat-comot melalui
internet. Memudarnya nilai kesantunan ditandai oleh penggunaan kata-kata yang
tidak baik dalam pembelajaran, pelampiasan kekesalan kepada siswa serta “ewuhnya”
guru untuk tidak mau menyapa murid karena rasa angkuh. Hilangnya nilai
pengabdian yang berarti adalah bekerja sepenuh hati tanpa terlalu memperdulikan
gaji tinggi terlihat dari seringnya guru mencari pekerjaan sampingan ditengah
jam mengajar sehingga siswa hanya diberi tugas dan ditinggal pergi. Setali tiga
uang megabaikan tugas yang penting dapat uang.
Terkikisnya nilai-nilai kewibawaan tadi brangkali merupakan dampak
dari kemajuan IPTEK yang telah disalah gunakan. Penggunaan vidoe youtube yang
seharusnya dapat menunjang pembelajaran justeru dijadikan media untuk melihat
situs-situs porno yang akhirnya menyebabkan kasus asusila terhadap siswa.
Penyalahgunaan paham pragmatis dan tuntunan ekonomi menyebabkan guru hanya mau
mengajar jika digaji besar. Selain itu ada pula fenomena “ korban-makan
korban lain)[12].
Seorang guru yang menjadi korban kebijakan pemerintah dengan menerima gaji
rendah menyuruh para siswa untuk less tambahan kepada guru tersebut,
mengharuskan siswa untuk membeli buku tertentu. Memang cukup kompleks
masalah-masalah kewibawaan yang tengah dihadapi guru di era global ini,
Maka untuk menghadirkan kembali jiwa kewibawaan seorang guru maka
perlu kita membaca sejarah pewayangan tentang seorang tokoh berpostur pendek
dan tambun yaitu Semar. Sekalipun ia adalah seorang abdi dalem, ia selalu
mendapatkan sanjungan dari para pendhawa lima. Hal itu dikarenakan sikap semar
yang luhur, berpengetahuan dan selalu rendah hati. Memiliki unsur-unsur yang
terdapat dalam diri Semar bukanlah perkara semudah membalikkan tangan, akan
tetapi harus melalui rangkaian proses. Mulai dari membaca literatur-literatur
pengetahuan, menyapa teman, kerja bakti dan menolong teman. lambat laun sikap
ini akan tertanam didalam diri kita. Dan terakhir dalam proses tersebut
dituntut adanya konsistensi dan doa. Segala sesuatu pastinya memiliki
rintangan, manakala bisa keluar dari rintangan tersebut, maka kewibawaan bisa didapat.
3.
Tantangan modernisme dan kapitalisme
Dalam era globalisasi ini dominasi kapital global melalui
penciptaan jaringan investasi dan bisnis sangat sulit dihindari, roda dunia
seakan bergerak begitu cepat dan sangat sulit melakukan prediksi. Harapan,
kegelisahan, dan kecemasan senantiasa mewarnai pola pikir, cara bertindak
bahkan sampai merasuki pola hidup sehari-hari.
Tidak bisa dipungkiri lagi
bahwa kemajuan IPTEK telah memberikan kemudahan bagi keberlangsungan hidup
manusia. Dunia yang luas serasa sempit karena semua orang bisa bercakap-cakap
melalui handphone, 3G, dan media internet. Dalam perbankan pun tidak kalah
ketinggalan, informasi saham dan uang bisa diakses dimana saja dan kapan saja.
Diatas semua pergerakan itu kapital menjadi fasilitator ulung.
Kapital-modal-uang telah menjadi penopang utama pergerakan kapitalisme.[13]
Di dalam bukunya dede mulyanto yang berjudul Genealogi Kapitalisme,
banyak pendapat para filosof yang menyatakan tentang kapitalisme diantaranya :
Max Weber menyatakan bahwa kapitalisme adalah gejala historis. Sedangkan di
dalam kerangka Weberian kapitalisme adalah kebudayaan pasar dengan yang intinya
terdiri dari nilai, norma dan kepercayaaan. Oleh karena itu, tampilan
aktual kapitalisme akan beragam. Menurut
karl marx kapitalisme bukanlah sesuatu, tetapi lebih merupakan hubungan sosial
produksi.[14] Jadi
dari pendapat para filosof diatas bisa disimpulkan bahwa kapitalisme adalah
suatu kebudayaan yang bersumber dari kapital sebagai inti hubungan sosialnya.
C.
Solusi mengatasi permaslahan pendidikan
Sebagaimana penjelasan diatas bahwa selain membawa angin segar,
globalisasi dan IPTEK juga menciptakan “angin puting beliung” yang memporak
porandakan nilai dan moral serta wajah pendidikan di Indonesia. Pendidikan yang merupakan usaha memanusiakan
manusia secara manusiawi[15]
telah mengalami guncangan hebat akibat globalisasi, maka dari itu diperlukan
semacam usaha untuk mengantisipasi, menanggulangi dan melakukan konstruksi
terhadap permaslahan pendidikan tersebut. Dalam makalah ini kami mencoba
menawarkan beberapa alternatif untuk menjawab permasalahan tersebut.
1)
Membekali pendidik dan pesrta didik dengan IPTEK.
Semakin derasnya arus globalisasi, maka menuntut manusia untuk
memperluas pengetahuan disegala bidang agar tidak terasingkan dari masyarakat
global. Oleh karena itu, diperlukan pembekalan pengusaan IPTEK bagi setiap
manusia, karena dengan IPTEK banyak sekali manfaat yang bisa dipetik. semisal :
dengan kalkulator dapat mempermudah seorang pedagang dalam menghitung, dengan
internet dapat mengenal orang-orang dari beragam wilayah ataupun untuk akses
pengetahuan.
2)
Humanisme dan pendidikan holistik sebagai konstruksi pendidikan.
Humanisme, adalah kata Latin humus yang berarti tanah atau
bumi. Dari situ muncul istilah homo yang berarti makhluk bumi. Dan humanus
yang menunjuk kata sifat “membumi” dan “manusiawi”.[16]
Dalam KBBI humanisme berarti suatu aliran filsafat yang mengajarkan kepada
manusia untuk dapat hidup bermasyarakat dengan nilai-nilai kemanusiaan.[17]
Perlu kita ketahui bahwa
manusia itu memiliki dimensi humanitas yang mencakup unsur kognitif
(pengetahuan), afektif (perasaan) dan konatif (kehendak,karsa). Ketiga unsur
tersebut kemudian diolah dan dikembangkan menjadi 3 disiplin ilmu. Logika guna
melatih berpikir logis,kritik dan sistematik. Estetika untuk mengasah katajaman
hati, menggerakkan imajinasi dan kreativitas dan etika untuk membentuk dan
menanamkan kesadaran moral.[18]
Dari unsur humanitas diatas maka bisa kita jabarkan bahwa
pendidikan humanis itu ditujukan pada pengembangan pengetahuan, pemahaman,
penanaman, dan penerapan nilai-nilai kebenaran, keindahan dan kebaikan, oleh
karena itu pendidikan tidak cuku hanya menggunakan cara tradisional
pembelajaran satu arah. Pendidikan humanisme dapat dilakukan melalui:[19]
1)
Learning by doing and exposure
Melalui kegiatan tersebut, para peserta didik diajak untuk melihat
sendiri secara langsung dilapangan, megamati, mendengar apa yang sesungguhnya
terjadi kemudian membuat refleksi terhadap nilai-nilai tersebut.
2)
Learning by experiencing
Melibatkan para pesrta didik dalam berbagai kegiatan, baik lomba
atau kegiatan sosial, kegiatan keruhanian bagaimana peserta didik dapat
memahami dan menghayati arti toleransi antar umat beragama manakala mereka
berinteraksi.
3)
Learning by exploring and appreciating
Melalui media film, nilai-nilai apa yang dapat dipelajari dan
reaksi apa yang muncul pada saat mereka melihat situasi yang ditaynagkan. Pada
saat peserta didik melihat adegan kekerasan terhadap orang tak bersalah, apakah
dalam diri mereka muncul kemarahan moral.? Rasa kemanusiaan dan bela rasa dapat
dipupuk dan dipertajam melalui analisis atas film-film bermutu.
4)
Learning by living
Peserta didik diajak untuk tinggal beberapa lama disuatu daerah
atau lingkungan untuk mengamati, mengalami dan dan berinteraksi dengan penduduk
setempat.
5)
Problem solving method
Dalam hal ini peserta didik dilatih untuk melihat persoalan, lalu
mengidentifikai dan memahami permasalahan tersebut untuk kemudian menemukan
alternatif jawaban.
6)
Case study method
Melalui metode ini, peserta didik dilatih untuk melihat
persoalan-persoalan hidup dari berbagai sudut pandang. Melalui metode ini,
peserta didik diajak untuk bekerjasama dan berinteraksi dalam upaya memecahkan
permasalahan yang ada di lingkungan sehingga peserta didik dapat menerapkan teori
dan prinsip-prinsip kedalam praksis hidup yang konkrit.
3)
Mempelajari tokoh-tokoh pewayangan
Sebagaimana yang sempat disinggung pada beberapa uraian diatas.
bahwa globalisasi telah merenggut nilai-nilai kemanusiaan. Untuk kembali menata
nilai tersebut meka perlu adanya refleksi diri. Salah satu cara refleksi tersebut adalah dengan
mempelajari ajaran luhur yang terdapat dalam budaya daerah, khususnya untuk
daerah jawa tengah adalah pewayangan.
Dalam pewayangan tersebut tersirat nilai-nilai luhur yang ditampilkan
oleh para tokoh-tokoh pewayangan. Resi abiyasa misalnya adalah tokoh pewayangan
yang menggambarkan pemuda yang haus akan pengetahuan dan memiliki jiwa ketaatan
terhadap negara. Setiap hari selalu mempelajari filsafat dan ilmu negara untuk
kemudian ia ajarkan kepada para cucu-cucunya.[20]
Yudistira merupkan anak pertama dari lima bersaudara “pandhawa
lima”. Dia adalah tokoh yang memiliki kelembutan hati yang tiada tara, jiwanya
lembut selembut sutera.
4)
Menghiasi diri dengan perilaku terpuji.
Telah tampak dengan jelas fakta-fakta kemunduran moral generasi
terdidik dan pendidik di Indonesia ini. Banyak orang yang bersekolah namun
belum tersekolahkan. Para penghuni bangunan sekolah seolah-olah telah
membunyikan lonceng dehumanisasi dan demoralisasi. Maka dari itu baik sebagai
pendidik ataupun peserta didik, maka wajib bagi kita untuk membiasakan
melakukan perbuatan-perbuatan terpuji seperti tindakan yang mencerminkan
kepedulian yang meliputi: menyapa teman, tidak membuang sampah sembarangan,
menutup atau membuka pintu dengan halus.
Membiasakan untuk besabar dan tertib yang meliputi : kesadaran untuk
antri ketika membeli karcis atau makan diwarung-warung yang ramai.
Sekilas tindakan-tindakan diatas memang merupakan tindakan yang
sepele, maka dari itu kami mencoba mengungkap makna dari tindakan tersebut
sehingga kita mendapatkan manfaatnya. Menyapa teman dan membuka atau menutup pintu
dengan halus adalah tindakan yang dapat menghadirkan kegembiraan kepada sesama.
Bayangkan jika kita bertemu seseorang kemudian kita sambut dengan muka tidak
peduli, maka hal tersebut dapat menghadirkan perselisihan dan sikap sinis yang
dapat berujung pada permusuhan. Ketika kita membiasakan untuk antri berarti
kita telah menghargai peraturan dan kepentingan-kepentingan orang lain, selain
itu juga melatih kita untuk menghargai proses bukan secara instan.
BAB III
KESIMPULAN
Globalisasi merupakan
proses penyatuan masyarakat dunia. Globalisasi telah membawa manusia pada era
modern dan menawarkan kemudahan-kemudahan bagi masyarakt dunia. Pertumbuhan
globalisasi ditunjang dengan adanya teknologi. Dengan teknologi, hampir semua
yang sulit terasa mudah, dan semua yang jauh terasa dekat.
Dengan kemudahan
yang telah diberikan oleh teknologi, seharusnya masyarakat indonesia mampu
mengambil manfaat-manfaat tersebut untuk perbaikan hidup yang lebih baik. Akan
tetapi tidak semua orang indonesia mampu memanfaatkan teknlogi dengan benar
bahkan kerap disalah gunakan. seperti media internet yang oleh generasi pelajar
indonesia seharusnya digunakan untuk memperluas pengetahuan justeru digunakan
untuk melihat situs-situs porno sehingga menjadikan generasi penerus bangsa
mengalami degradasi moral. Selain itu ketidakmampuan menyaring ragam budaya
asing juga menjadikan generasi penerus bangsa kehilangan jati dirinya.
Pendidikan sebagai
wadah unntuk memanusiakan manusia secara manusiawi berperan untuk mencegah dan
menanggulangi dampak-dampak negatif dari globalisasi. Upaya yang dapat ditempuh
oleh kalangan terpelajar untuk ikut andil menanggulangi pengaruh yang bisa
menghilangkan jati diri bangsa yang mengakibatkan bias dan leburnya suatu
kebudayaan. Upaya lain juga harus di tempuh oleh lembaga pendidikan guna merumuskan
kembali hal-hal yang perlu di rubah dalam upaya memberikan reaksi yang tepat
terhadap globalisasi.
bagaimana lembaga pendidikan mampu mengluarkan uot put dari
hasil pembelajaran di sekolahan ini memiliki daya saing yang di butuhkan dalam
kancah era global tanpa harus kehilangan karakter kebangsaannya. Lembaga
pendidikan bisa juga membekali pendidik dan peserta didiknya dalam penguasaan
IPTEK dengan penuh kesadaran. Kesadaran ini akan membentuk dan melindungi
mereka dari penyalahgunaan IPTEK yang menyimpang.
Bisa juga mempelajari kebudayaan yang sarat akan inspirasi, seperti
tokoh-tokoh pewayangan yang bisa kita ambil pelajaran di dalamnya.
Globalisasi sebagai tantangan dalam dunia pendidikan, salah satunya
adalah upaya penghindaran lembaga pendidikan dari kapitalisme. Dimana lembaga
pendidikan di jadikan bisnis yang menggiurkan. Makna public server dari
lembaga pendidikan akan hilang jika pada akhirnya masyarakat di bebani dengan
dana dan biaya yang tinggi untuk mengenyam pendidikannya.
DAFTAR PUSTAKA
Darmaningtyas, Pendidikan Rusak-rusakan, Yogyakarta: LKIS,
2005.
H.M.
Muhtarom, Reproduksi Ulama di Era Globalisasi, Yogyakarta:Pustaka
Pelajar, 2005.
https://id.berita.yahoo.com/pelaku-pelecehan-siswa-tk-terancam-15-tahun-bui-221044661.html
diakses pada tanggal 23 april 2014.
Junaidi, Wayang
Sebagia Media Pendidikan Budi Pekerti Bagi Generasi Muda. Yogyakarta :
Arindo Nusa Media, 2011.
Machali,
Imam Pendidikan Islam dan Tantangan
Globalisasi. Yogyakarta: Presma Fak. Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, 2004.
Mulyanto, Dede. Genealogi Kapitalisme, Yogyakarta: Resist
Book, 2012.
Sugiharto, Bambang. Humanisme dan Humaniora. Yogyakarta :
Jalasutra, 2008.
Tilaar,
H.A.R, Pengembangan Kreativitas da Entrepreneurship Dalam Dunia Pendidikan
. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2012
[1] H.A.R. Tilaar, Pengembangan Sumber Daya Manusia Dalam Era
Globalisasi, (Jakarta: PT Grasindo, 1997), hal. 15.
[2] Imam Machali, Pendidikan Islam dan Tantangan Globalisasi,
(Yogyakarta: Presma Fak. Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2004), hal. 109.
[3] Muhtarom H.M, Reproduksi Ulama di Era Globalisasi,
(Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2005), hal. 44
[6] Muhtarom H.M, Reproduksi Ulama di Era Globalisasi,
(Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2005), hal. 48
[7] Darmaningtyas,Pendidikan Rusak-rusakan, (Yogyakarta: LKIS,
2005), hal 194.
[8] ibid
[9] Ibid hal 194
[10] Ibid hal 198
[11] https://id.berita.yahoo.com/pelaku-pelecehan-siswa-tk-terancam-15-tahun-bui-221044661.html diakses pada tanggal 23 april 2014.
[12] Gatut Saksono, Pendidikan yang Memerdekakan, (Yogyakarta:
Diandra Primamitra Media, 2008), hal 85
[13] Bambang, Sugiharto, Humanisme dan Humaniora, (Yogyakarta :
Jalasutra, 2008), hal 324
[14] Dede Mulyanto, Genealogi Kapitalisme, (Yogyakarta, Resist
Book,2012), hlm. 9.
[15] Ibid hal 343
[16] Ibid hal 362
[17] KBBI Online.com
[18] Bambang, Sugiharto, Humanisme dan Humaniora...hal 348.
[19] Ibid hal 352
[20] Junaidi, Wayang Sebagia Media Pendidikan Budi Pekerti Bagi Generasi
Muda.(Yogyakarta : Arindo Nusa Media, 2011) hal69.
Komentar
Posting Komentar