Menilik Hukum Perdagangan Manusia "Human Trafficking" dalam Perspektif Hukum Positif dan Hukum Islam



A.    Trafficking (Perdagangan Anak)
a.       Pengertian
Menurut Undang (UU) Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO) pasal 1 ayat 1, definisi (perdagangan orang) adalah: “tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi”.
Sedangkan perdagangan anak didefinisikan oleh ODCCP (Office for Drug Control and Crime Prevention) sebagai perekrutan, pemindahan, pengiriman, penempatan atau menerima anak-anak di bawah umur untuk tujuan ekploitasi dan itu menggunakan ancaman, kekerasan ataupun pemaksaan lainnya seperti penculikan, penipuan, kecurangan, penyalahgunaan wewenang maupun posisi penting. Juga memberi atau menerima uang atau bantuan untuk mendapatkan persetujuan dari orang yang menguasai penuh atas anak itu[1]

b.      Faktor-faktor
Perdagangan anak biasanya bertujuan:
·         eksploitasi untuk pekerjaan (termasuk perbudakan dan tebusan),
·         eksploitasi seksual (termasuk prostitusi dan pornografi anak),
·         eksploitasi untuk pekerjaan ilegal (seperti mengemis dan perdagangan obat terlarang),
·         perdagangan adopsi,
·         penjodohan.
Perdagangan anak terjadi akibat konvensi internasional atas penindasan wanita dan anak-anak yang diselenggarakan pada tanggal 30 September 1921.
Alasan lain adalah eksploitasi seksual atas anak-anak melalui sejumlah alasan hukum yang dapat dikenakan hukuman. (kekerasan seksual pada anakpornografi anakperdagangan manusia, dll.)
Dewasa ini kita dapati maraknya eksploitasi manusia untuk dijual atau biasa disebut dengan Human Trafficking, terutama pada wanita untuk perzinaan, dipekerjakan tanpa upah dan lainnya, ada juga pada bayi yang baru dilahirkan untuk tujuan adopsi yang tentunya ini semua tidak sesuai dengan syari’ah dan norma-norma yang berlaku (‘urf). Kemudian bila kita tinjau ulang ternyata manusia-manusia tersebut berstatus hurr (merdeka).
c.       Pandangan Fiqh mengenai Traficking
Hukum dasar mua’amalah perdagangan adalah mubah kecuali yang diharamkan dengan nash atau disebabkan gharar (penipuan). Dalam kasus perdagangan manusia, ada dua jenis yaitu manusia merdeka (hur) dan manusia budak (‘abd atau amah). Dalam pembahasan ini akan kami sajikan dalil-dalil tentang hukum perdagangan manusia merdeka yang kami ambilkan dari al-Qur’ân dan Sunnah serta beberapa pandangan Ahli Fikih dari berbagai madzhab tentang masalah ini.


Allah Azza wa Jalla berfirman Q.S. Al-Isro:70:
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُم مِّنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَىٰ كَثِيرٍ مِّمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًا
“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.”
Sudut pandang pengambilan hukum dari ayat ini bahwa kemuliaan manusia yang Allah Azza wa Jalla berikan kepada mereka yaitu dengan di khususkannya beberapa nikmat yang tidak diberikan kepada makhluk yang lain sebagai penghormatan bagi manusia. Kemudian dengan nikmat itu manusia mendapatkan taklif (tugas) syari’ah seperti yang telah dijelaskan oleh mufassirîn dalam penafsiran ayat tersebut di atas. Maka hal tersebut berkonsekwensi seseorang manusia tidak boleh direndahkan dengan cara disamakan dengan barang dagangan, semisal hewan atau yang lainnya yang dapat dijual-belikan. Imam al-Qurthûbi t berkata mengenai tafsir ayat ini “….dan juga manusia dimuliakan disebabkan mereka mencari harta untuk dimiliki secara pribadi tidak seperti hewan,…”

Disebutkan dalam sebuah hadits Qudsi Allah Azza wa Jalla mengancam keras orang yang menjual manusia ini dengan ancaman permusuhan di hari Kiamat. Imam al-Bukhâri dan Imam Ahmad meriwayatkan dari hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu
:
عَنْ أَبيْ هُريْرَةَ رَضِيَ اللّه عنه عَنْ النَّبِيِّ صلىاللّه عليه وسلم قَاَلَ : قَالَ اللَّه : شَلاَشَةٌ أَنَا خَصْمُهُمْ يَومَ الْقِيَا مَةِ رَجُلٌ أَعْطَى بِي ثُمَّ غَدَرَ وَرَجُلٌ بَاعَ حَرًافَأَكَلَ ثَمَنَهُ وَرَجُلٌ اسْتَأ جَرَ أَ جِيرًا فَسْتَوْ فَىمِنْهُ وَلَمْ يُعْطِ أَجْرَه
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda: Allah Azza wa Jalla berfirman: “ Tiga golongan yang Aku akan menjadi musuh mereka di hari Kiamat; pertama: seorang yang bersumpah atas nama-Ku lalu ia tidak menepatinya, kedua: seseorang yang menjual manusia merdeka dan memakan hasil penjualannya, dan ketiga: seseorang yang menyewa tenaga seorang pekerja yang telah menyelesaikan pekerjaan itu akan tetapi dia tidak membayar upahnya.
Dalam masalah ini Ulama bersepakat atas haramnya menjual orang yang merdeka (Baiul hur), dan setiap akad yang mengarah ke sana, maka akadnya dianggap tidak sah dan pelakunya berdosa.
Di antara pendapat mereka yaitu.

1.      Hanafiyah
Ibnu Abidin rahimahullah berkata, “Anak Adam dimuliakan menurut syari’ah, walaupun ia kafir sekalipun (jika bukan tawanan perang), maka akad dan penjualan serta penyamaannya dengan benda adalah perendahan martabat manusia, dan ini tidak diperbolehkan…”
Ibnu Nujaim rahimahullah berkata dalam Al-Asybah wa Nazhâir pada kaidah yang ketujuh, “Orang merdeka tidak dapat masuk dalam kekuasaan seseorang, maka ia tidak menanggung beban disebabkan ghasabnya walaupun orang merdeka tadi masih anak-anak”
2.Malikiyah.
Al-Hatthab ar-Ru’aini rahimahullah berkata, “Apa saja yang tidak sah untuk dimiliki maka tidak sah pula untuk dijual menurut ijma’ Ulama’, seperti orang merdeka, khamr, kera, bangkai dan semisalnya “
3.Syafi’iyah
Abu Ishâq Syairazit dan Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan bahwa menjual orang merdeka haram dan bathil berdasarkan hadist di atas
. Ibnu Hajart menyatakan bahwa perdagangan manusia merdeka adalah haram menurut ijma’ Ulama’
4.Hanabilah
Ulama’ Hanabilah menegaskan batalnya baiul hur ini dengan dalil hadits di atas dan mengatakan bahwa jual beli ini tidak pernah dibolehkan dalam Islam, di antaranya adalah Ibnu Qudâmah, Ibnu Muflih al-Hanbali, Manshûr bin Yûnus al-Bahuthi, dan lainnya.

B.     Pernikahan Anak dibawah Umur
a.       Pengertian
Anak dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai keturunan, anak juga mengandung pengertian sebagai manusia yang masih kecil. Selain itu, anak pada hakekatnya seorang yang berada pada satu masa perkembangan tertentu dan mempunyai potensi untuk menjadi dewasa.[2]
Anak di bawah umur adalah anak yang belum dewasa atau belum baligh. Sedang seorang anak disebut baligh atau dewasa, menurut jumhur Ulama berpendapat bahwa tanda-tanda kedewasaan yang terdapat pada masing-masing laki-laki dan perempuan, pada laki-laki adalah ditandai dengan al-ihtilam atau mengalami mimpi basah. Sedangkan pada perempuan adalah mengalami haid atau menstruasi. Namun ada beberapa ulama lain yang berpendapat mengenai ketentuan usia baligh yang sempurna, di antaranya; Imam Abu Hanifah yaitu pada laki-laki adalah usia 18 tahun, sedang pada perempuan adalah usia 17 tahun. Menurut Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hambal, batasan usia baligh pada anak laki-laki dan perempuan adalah sama yakni 15 tahun. Sedang menurut ulama Malikiyah mempunyai dua pendapat: Pertama, bahwa si anak dinilai baligh ketika telah mencapai usia 17 tahun. Kedua, jika anak telah masuk usia 18 tahun.
Dari berbagai macam pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa anak dinilai dewasa atau baligh ketika mencapai usia 18tahun. Jadi anak di bawah umur adalah seorang anak yang belum mencapai usia 18 tahun di mana ia masih dalam fase pertumbuhan dan anak masih dalam tanggung jawab orang tua.[3]
Dalam pasal 7 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun.  Namun penyimpangan terhadap batas usia tersebut dapat terjadi ketika ada dispensasi yang diberikan oleh pengadilan ataupun pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua dari pihak pria maupun pihak wanita.  Undang-Undang yang sama menyebutkan bahwa perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai dan izin dari orangua diharuskan bagi mempelai yang belum berusia 21 tahun.
b.      Faktor-faktor
Ada beberapa faktor menikahi wanita di bawah umur, yaitu faktor ekonomi, karena keluarga sudah tidak mampu menyekolahkan atau membiayi lagi. Fator lingkungan atau tradisi. Pada zaman nenek kita usia menikah mereka sekitar 10 -19 tahun. Di atas usia tersebut termasuk orang-orang yang terlambat untuk menikah. Sedangkan tradisi hari ini, usia wanita menikah 20-30 tahun. Faktor ketiga yang masih juga terjadi di suatu daerah, menikahi wanita yang masih muda belia karena jaminan hutang. Jika sang ayah tidak dapat melunasi hutangnya, maka si penghutang berhak mengawini anak gadisnya meski masih anak-anak.

c.       Dampak Pernikahan Anak di bawah Umur
1.      Dampak Biologis
Secara biologis alat reproduksi anak masih dalam proses menuju kemantangan sehingga belum siap untuk melakukan hubungan seks dengan lawan jenisnya, apalagi jika sampai hamil dan melahirkan. Jika dipaksakan justru akan menjadi trauma, perobekan yang luas dan infeksi yang akan membahayakan organ reproduksinya sampai membahayakan jiwa anak.
2.      Dampak Psikologis
Secara psikis anak juga belum siap mengerti tentang hubungan seks serta belum siap mental dengan pernikahan, sehingga akan menimbulkan trauma psikis berkepanjangan dalam jiwa anak yang sulit disembuhkan. Anak akan murung dan menyesali hidupnya yang berakhir pada perkawinan yang dia sendiri tidak mengerti atas putusan hidupnya.
3.      Dampak Sosial
Fenomena pernikahan di bawah umur ini berkaitan dengan faktor sosial budaya dalam masyarakat patriarki yang bias gender, yang menempatkan perempuan pada posisi rendah dan hanya dianggap pelengkap seks laki-laki saja. Kondisi ini akan melahirkan kekerasan pada perempuan.
4.      Dampak Perilaku Seksual Menyimpang
Adanya perilaku menyimpang yaitu perilaku yang gemar berhubungan seks dengan anak-anak yang dikenal dengan istilah pedofilia.
Dari uraian dampak di atas jelas sekali bahwa pernikahan di bawah umur lebih banyak mudharat daripadi manfaatnya. Oleh karena itu patut untuk ditentang. Orang tua harusnya sadar dan tidak boleh menikahkan anakanya dalam usia dini, orang tua juga harus memahami peraturan perundang-undangan untuk perlindungan anak.[4]
d.      Pandangan fiqh
Hukum asal menikahi gadis di bawah umur 16 tahun:
Pertama, kesiapan ilmu, yaitu kesiapan pemahaman hukum-hukum fiqh yang berkaitan dengan urusan pernikahan dan pasca pernikahan, seperti kewajiban sebagai isteri, ibu dari anak-anak, muamalah dan lain sebagainya.
Kedua, kesiapan materi/harta, yaitu harta sebagai mahar dan harta sebagai nafkah suami kepada isterinya untuk memenuhi kebutuhan pokok/primer bagi isteri yang berupa sandang, pangan dan papan.
Ketiga, kesiapan fisik/kesehatan khususnya bagi laki-laki, yaitu maksudnya mampu menjalani tugasnya sebagai laki-laki, tidak impoten.
Dengan demikian, kesiapan tersebut tidak khusus diperuntukan bagi calon suami tetapi juga bagi calon isteri. Oleh karena itu, seorang isteri pun harus mempersiapkan sebelum pernikahan dilangsungkan. Sehingga diperlukan kematangan fisik seorang wanita yang akan menikah. Keharusan untuk mempersiapkan segala sesuatu sebelum pernikahan didasarkan kepada sabda Rasulullah Saw:
“Wahai para pemuda, barangsiapa yang telah mampu, hendaknya kawin, sebab kawin itu akan lebih menundukkan pandangan dan akan lebih menjaga kemaluan. Kalau belum mampu, hendaknya berpuasa, sebab puasa akan menjadi perisai bagimu.” (HR. Bukhari-Muslim).
Kesiapan tersebut mencakup kematangan fisik seorang wanita yang akan dinikahi, sebagaimana MUI juga menganjurkan untuk mengikuti UU yang mengatur seorang perempuan menikah minimal berusia 16 tahun. Juga didasarkan kepada kemaslahatan hidup berumah tangga yang akan siap menghadapi segala macam problematikan kehidupan keluarga.

KESIMPULAN
Perdagangan anak / Trafficking merupakan tindakan menyimpang yang marempas hak-hak manusia yang merdeka. Banyak modus atau faktor yang menyebabkan tercadinya tindakan criminal ini, diantaranya: minimnya kesadaran akan hak dari manusia yang merdeka, faktor ekonomi, eksploitasi social dan lain sebagainya. Bagaimanapun bentuknya berdasarkan uraian yang dijelaskan dalam pembahasan perdagangan manusia jelas tidak dibenarkan alias haram.
                  Demikan juga dengan menikahi anak dibawah umur, kasus yang kedua ini sebenarnya tidak semestinya dilarang. Hanya saja banyak unsur negatif yang menimbulkan dampak-dampak negatif pula dari pernikahan dibawah umur. Seperti bentuk kekerasan dalam berumah tangga, atau bentuk pelecehan seksual dan banyak hal dimana wanita adalah sebagai korban utamanya. Sehingga bentuk pernikahan dibawah umur atau menikahi anak di bawah umur harus ditinjau ulang berdasarkan faktor yang melatarbelakangi dan dampak-dampaknya.

Daftar Pustaka
Anton M. Moeliono, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet.2 (Jakarta: Balai   Pustaka,1988)
http://helmayulita.wordpress.com/2012/02/08/human-trafficking/
Huzaemah Tahido Yanggo, Fiqh Anak (Jakarta: al-Mawardi Prima,2004)  
Zainal Abidin,Skripsi “Kawin Paksa Bagi Anak di Bawah Umur Dalam Perspektif Hukum Islam dan Undang-undang Perlindungan Anak”, (Yogyakarta:Jurursan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga,2011)



[1] http://helmayulita.wordpress.com/2012/02/08/human-trafficking/
[2]Anton M. Moeliono, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet.2 (Jakarta: Balai Pustaka,1988) hlm.30
[3]Huzaemah Tahido Yanggo, Fiqh Anak (Jakarta: al-Mawardi Prima,2004)hlm.30           
              [4]Zainal Abidin,Skripsi “Kawin Paksa Bagi Anak di Bawah Umur Dalam Perspektif Hukum Islam dan Undang-undang Perlindungan Anak”, (Yogyakarta:Jurursan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga,2011)hlm.40-41

Komentar

Postingan populer dari blog ini

fakta-fiktif, "TLEKEMONIKASI"

makalah bahasa Arab "Al-Mutsanna"