Itulah sedikit cuplikan syair dari
sebuah lagu hasil gubahanseorang santri
dari lagu “Sussis”. Pertama kali mendengarnya pun saya sempat sakit perut.
Bukan karena belum makan, tapi mendengar suaranya yang mbelebud. Di tambah lagi syairnya yang bikin saya semakin
terpingkal-pingkal. Di sisi lain, “penyanyi” tersebutmelakukannya dengan penuh, amat teramat
sangat sekali serta sungguh-sungguh penuh dengan penghayatan dan penjiwaan
terhadap lagu tersebut. Pasalnya, pada saat itu, Santri yang juga teman dekatku
itu menyanyikannya sambil menggaruk-nggaruk ‘sesuatu’.
Gudig sering kali menjadi biang kerok dan dikambing hitamkan oleh
kebanyakan Santri, apalagi bagi Santri yang menginjakkan usianya di masa ABG
dan remaja, mereka sering mengeluhkan gudig. Karena, dengan kehadiran yang
tanpa di undang tersebut sempat membuat mereka depresi, kehilangan percaya
diri, sampai level gengsi jika sampai terkena gudig. Berbagai alasan untuk
tidak mengikuti kegiatan pun timbul. Dan gudiglah yang menjadi alasan tepat, akurat,
dan faktual untuk mengatakan ‘tidak’ pada kegiatan Pondok.
Tak hanya sampai disitu kehadiran gudig
yang sempat membuat depresi tingkat tinggi bagi para pengidapnya, tapi sampai
pula efek gudig tersebut mengacu pada kekecewaan berat, malu, sampai fase keterasingan
dari teman. Seperti lingkungan sosialnya terbatas atau malah sengaja di batasi.
Belum lagi beribu-ribu sindiran, olok-olok, gojlogan,
dan tatapan sinis yang menusuk sampai jantung, paru-paru, hati, ginjal, usus
halus, usus besar, terus keluar lewat anus- lho
kok malahan kayak proses pencernaan?. Pokoknya menyedihkan banget, lah-jadi ngerasa nich kalo udah pernah. Nah
untuk lebih terang bin padang bin jelas, mari kita ikuti ulasan dari fakta-
fiktif berikut ini.
Pada umumnya, masyarakat kita -Indonesia-pen- khususnya daerah Jawa
sudah sangat memaklumi jika mengaitkan pada Santri yang tinggal di Pondok
Pesantren dengan suatu penyakit kulit yang sangat populer, yaitu Gudig. Bahkan
dimana saja, di Pesantren yang ada di Indonesia peluang Santri untuk terkena
penyakit kulit ini sangat dimungkinkan. Pertanyaannya adalah, mengapa di Pesantren? Dan mengapa objek yang
sering terkena itu justru para Santri?Yups, untuk pertanyaan mengapa di Pesantren, itu memiliki kaitan erat
dengan mengapa objek yang sering terkena itu dari kalangan Santri. Santri
adalah seorang pembelajar. Khususnya dalam hal ilmu keagamaan. Sesuatu yang
sangat mulia bukan? Bagi para Santri yang sebagai makhluk pembelajar yang akan
menuju kemuliaan itulah yang mendasari alasan mengapa Gudig sering kali
berinang pada komuntas ini. Tahukah Antum bahwa jalan untuk menuju kemuliaan
itu tidaklah mudah. Butuh perjuangan, pengorbanan, serta keikhlasan yang di
bersamakan dengan bersyukur. Analoginya seperti Ibarat orang mulia itu adalah
pohon yang tinggi, semakin tinggi pohon tersebut pastilah semakin kencang angin
yang menerpanya, ya nggak?Jadi begitulah
kehadiran gudig diantara kita –kaum
sarungisme- yaitu memiliki peran sebagai uji coba mental kita sebelum kita
menjadi orang besar. Antum –Insya Alloh-adalah cikal bakal yang dipersiapkan
Pesantren untuk memimpin ummat. Antum akan menjadi orang besar kelak –besar dalam arti mulia, bukan besar perutnya
doang!- jadi, siapkanlah mentalmu untuk menghadapi gejolak kehidupan yang
akan menerpamu. Dan Gudig, adalah salah satu tes atau cobaan yang akan
mengajarimu banyak hal untuk tetap bertahan, bersabar, ikhlas serta mensyukuri
segala keadaan.
Gudig yang kita kenal jahat, merenggut
kepercayaan diri, mengganggu aktivitas –karena
lagi ngaji aja garuk-garuk, bikin nggak fokus- membuat kita sedikit
terasing dari teman, di olok-olok, dan seabreg hal yang ditimbulkan gudig itu
membuat kita jatuh dalam keterasingan. Tapi, Sob, di balik semua itu ada
pelajaran yang sangat berharga bagi kita, bagi mental kita, dan pengembangan
emosi –perasaan- serta olah pikir
kita untuk menghadapi cobaan lainnya. Pelajaran bagi mental kita sudah jelas
bahwa kita di di ajari untuk bermental percaya diri, meskipun gudig bersarang
di tangan, kaki, dan daerah ‘rawan’ lainnya. Tetap tegar mengadapi ejekan,
tatapan sinis yang tiap hari mengiris. Biarkan mereka mengejek, toh mereka
dulunya juga kayak gitu, kalo dulu belum, mungkin suatu saat mereka juga akan
mengidapnya -lho? Kok malahan mendoakan
jelek?.
Karena gudig menjadi suatu ujian, maka
sudah selayaknya kita bersabar, bahkan lebih baik kita mensyukurinya. Bersabar
atas musibah itu biasa dan wajar. Tapi bagaimana jika bersyukur atas musibah
dan ridlo akan apa yang Alloh berikan? Itu baru luar biasa!! Meskipun begitu,
bukan berarti kita lupa untuk berikhtiyar, lho? Kita tetap berusaha untuk
mengobatiny dan merawat agar tidak menimbulkan infeksi. Karena jika kita tidak mengobatinya
dan terus menerus membiarkan Gudig ber-invansi
ke seluruh penjuru tubuh, itu berarti kita telah berbuat dzolim terhadap diri
kita sendiri, menyiksa, dan merusak diri. Nggak cuma diri kita yang merasa di
sakiti, tetapi juga teman-teman yang ada di dekat kita juga merasa “aduhai”
jika terus menerus di hadapkan dengan pemandangan yang “aduhai” juga –apalagi sewaktu makan bersama, walah jann…
jadi kita tetap berusaha mengobatinya, pake salep juga bisa, pake obat spritus
juga ada, obat pil juga tersedia, bedak boleh juga –wah hafal obat gudig, menandakkan pernah terkena nich- hehe….
Bukankah Alloh menurunkan suatu penyakit di dunia ini beserta obatnya? Pasti
ada! Coba saja cari. Nggak punya obatnya? Minta sama teman. Malu? Beli. Nggak
punya uang? Pinjam. Malu? Tutupan. Nggak punya tutup? Pake ember aja. Nggak
punya ember? Beli. Nggak punya uang? Pinjem. Malu mau pinjam uang buat beli
ember? Tutupan! Nggak punya tutup lagi? Jan, KEBANGETAN! Susah ngurusin orang
kayak gini!
Hasil analisis saya –wah, gemaguse- terhadap Santri yang
terkena penyakit Gudig ini, ternyata selain sebagai ujian ataupun cobaan,
kehadiran Gudig ini juga menghasilkan sebuah dampak perilaku yang unik-unik.
Lho, kok bisa? He-eh! Nggak percaya? Biar Antum percaya, saya tuliskan fenomena
tingkah laku dari dampak kehadiran Si Gudig ini es-be-be:
1.Adanya fenomena Musikalisasi Gudig.
Pada
umumnya, penyakit Gudig ini menimbulkan rasa gatal pada bagian tubuh. Adanya
rasa gatal tersebut memberikan stimulus terhadap otak agar menggerakkan tangan
untuk menggaruk bagian yang gatal. Nah, kegiatan garuk-menggaruk inilah yang
kemudian populer dikalangan Santri dengan istilah “nggitar”. Meskipun gerakan
jemari tak selentik dalam memetik dawai-dawai gitar. Tapi, gerakkan yang
pulang-balik, naik-turun dan berulang-ulang itulah yang terkesan mirip seperti
orang yang sedang bermain gitar. Kadang malahan mereka bermusikalisasi dengan
sengaja, yaitu dengan menggaruk dengan teori imitasi-nya. Maksudnya mereka meniru
style para musisi. Ada yang
seakan-akan bermain gitar, menabuh drum atau kendang, dan yang menggaruk dengan
menekan-nekan dengan jari seperti halnya pemain keyboard! Meskipun suara yang
dihasilkan adalah suara imitasi yang keluar dari mulut mereka. Dan menjadi daya
tarik sendiri pastinya, jika ada Santri yang sedang menikmati kegiatan bermain
“gitar” alaminya itu, maka Santri lain akan menyahuti dengan bunyi-bunyi alat
musik lain, seakan mengiri seorang gitaris dengan drum, kendang, ataupun
keyboard. Jadi, ketika “jreng… jreeng…”
maka akan ada suara “dug-dug plak-ketiplak theng… theng…” dan setelah itu
mereka bernyayi. Inilah yang dinamakan musikalisasi gudig. Keren, khan? Mau
coba? Atau malahan sudah pernah mencoba? Hehe….
2.Penemuan sarung tangan ekonomis.
Akhir-akhir
ini, pertumbuhan bakteri gudig saya kira lebih “maju” dari pada tahun-tahun
awal saya di Pondok. Pasalnya, gudig tahun sekarang lebih mampu ber-invansi
sampai ke lengan tangan, pergelangan tangan, dan merambah habis sampai
jari-jemarinya. Padahal, di zaman tempo doeloe –zaman saya masuk- gudig hanya tumbuh di daerah yang tertutup. Gudig
pun paling awet bertahan sampai 2-3 bulan. Dan saya kira, gudig zaman modern
ini rasanya sudah lebih berani menampakkan dirinya di muka umum -mungkin karena pengaruh Globalisasi kali,
ya?-. hal ini membuat para Santri harus benar-benar berani dan sabar dalam
menghadapinya. Lebih di butuhkan mental yang kuat, anti gengsi, dan berjiwa
qona’ah. Gudig zaman modern inipun jangka waktunya saya kira lebih awet dari pada
zaman doeloe. Tapi tenang saja, bagi Antum yang terkena gudig modern ini, saya
doakan semoga pahala atas kesabaran dan ketabahannya serta rasa syukurnya di
lipat gandakan. Bukankah pahala itu di sesuaikan dengan tingkat kesulitannya?
Semakin sulit cobaan, semakin tinggi nilai pahalanya. Dalam istilah Arabnya, “Al-ajru bi qodri ta’abi” ya, kan? Ketika
gudig sudah tumbuh di tangan, khususnya jari-jemari, saat itulah kesulitan
hadir. Apalagi saat makan. Mau pake sendok, nggak ada. Mau pake tangan,
jelas-jelas kotor dan bergudig. Mau buat “suruh”
pake daun pisang, pasti nggak kuat. Nah, saat-saat sulit seperti itulah daya
kreatif Santri tumbuh. Nggak pake sendok, nggak pake “suruh”, cukup dengan
kresek bening yang biasanya buat membawa “jajan” dari Kantin. Kresek tipis,
terkesan transparan, dan sangat higienis! Jadilah sarung tangan plastik yang
ekonomis! Masalah makan, tinggal leebb…
heemm…. lezzaaaatt….!!
ayooo....!! jangan minder dan takluk loyo hanya karena gudig...!!!
fakta-fiktif adalah JuduL Buku yang segera terbit secara self Publisher dan ini adalah artikel terkait didalamnya. TLEKEMONIKASI Sebagai pembukaan wacana dalam buku “Fakta-Fiktif” ini, kita akan mengupas sedikit fakta dari sebuah benda yang sudah tak asing lagi di telinga para Santri. Benda ini adalah tlekem. Yap, siapa yang gak kenal dengan nama tlekem. Sebuah benda yang hampir setiap pagi dan sore di sayang-sayang, di elus-elus dan di nantikan keberadaan isinya. Saya belum pernah mengetahui definisi baku tentang tlekem, tetapi saya mencoba mendefinisikan tlekem ini sebagai suatu benda yang memiliki fungsi sebagai tempat atau wadah sesuatu, memiliki tutup sebagai pelindung, dan pada umumnya berbentuk balok dan kubus. Dalam implementasinya di pesantren kita ini, tlekem di gunakan sebagai tempat nasi dan lauk pauk. Lebih perincinya lagi, tlekem sebagai tempat untuk mengisi jatah makanan Santri yang nge-fans di kantin. Nah, setelah mengetahui definisi umum tentang...
A. Trafficking (Perdagangan Anak) a. Pengertian Menurut Undang (UU) Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO) pasal 1 ayat 1, definisi (perdagangan orang) adalah: “tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi”. Sedangkan perdagangan anak didefinisikan oleh ODCCP ( Office for Drug Control and Crime Prevention ) sebagai perekrutan, pemindahan, pengiriman, penempatan atau menerima anak-anak di bawah umur untuk tujuan ekploitasi dan itu menggunakan ancaman, k...
MAKALAH AL-MUTSANNA ( المثني ) Disusun GunaMemenuhi Tugas Kelompok Mata Kuliah Bahasa Arab Dosen Pengampu: Ibu Dailatus Syamsiah, S,Pd.I Disusun Oleh: Moh. Rizki Sidiq (12410174) JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA 2013 KATA PENGANTAR Alhamdulillahirobil ‘alamiin…… Segala puji bagi Alloh SWT yang telah memberikan kekuatan kepada kami sehingga kami dengan segala penuh taufiq dan hidayah-Nya dapat menyelesaikan penyusuanan tugas makalah bahasa arab ini dengan tema “AL_MUTSANNA”. Kami yang masih dalam tahap dan proses belajar ini menccoba mengajak berlajar bersama tentang isim tasniyah. Hal ini di perlukan sebagai pelengkap atas makalah dan tema-tema yang telah teman kami buat. BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG Zaman s...
Komentar
Posting Komentar