edisi fakta fiktif"



GUDIG  dan KITA
Gudig, owowow guudig
Nikmatnya nggaruk gudiig….
Gudig, owowow guudig
Di garuk makin asyik…..
Itulah sedikit cuplikan syair dari sebuah lagu hasil gubahan  seorang santri dari lagu “Sussis”. Pertama kali mendengarnya pun saya sempat sakit perut. Bukan karena belum makan, tapi mendengar suaranya yang mbelebud. Di tambah lagi syairnya yang bikin saya semakin terpingkal-pingkal. Di sisi lain, “penyanyi” tersebut  melakukannya dengan penuh, amat teramat sangat sekali serta sungguh-sungguh penuh dengan penghayatan dan penjiwaan terhadap lagu tersebut. Pasalnya, pada saat itu, Santri yang juga teman dekatku itu menyanyikannya sambil menggaruk-nggaruk ‘sesuatu’.
Gudig sering kali menjadi biang kerok dan dikambing hitamkan oleh kebanyakan Santri, apalagi bagi Santri yang menginjakkan usianya di masa ABG dan remaja, mereka sering mengeluhkan gudig. Karena, dengan kehadiran yang tanpa di undang tersebut sempat membuat mereka depresi, kehilangan percaya diri, sampai level gengsi jika sampai terkena gudig. Berbagai alasan untuk tidak mengikuti kegiatan pun timbul. Dan gudiglah yang menjadi alasan tepat, akurat, dan faktual untuk mengatakan ‘tidak’ pada kegiatan Pondok.
Tak hanya sampai disitu kehadiran gudig yang sempat membuat depresi tingkat tinggi bagi para pengidapnya, tapi sampai pula efek gudig tersebut mengacu pada kekecewaan berat, malu, sampai fase keterasingan dari teman. Seperti lingkungan sosialnya terbatas atau malah sengaja di batasi. Belum lagi beribu-ribu sindiran, olok-olok, gojlogan, dan tatapan sinis yang menusuk sampai jantung, paru-paru, hati, ginjal, usus halus, usus besar, terus keluar lewat anus- lho kok malahan kayak proses pencernaan?. Pokoknya menyedihkan banget, lah-jadi ngerasa nich kalo udah pernah. Nah untuk lebih terang bin padang bin jelas, mari kita ikuti ulasan dari fakta- fiktif berikut ini.
Pada umumnya, masyarakat kita -Indonesia-pen- khususnya daerah Jawa sudah sangat memaklumi jika mengaitkan pada Santri yang tinggal di Pondok Pesantren dengan suatu penyakit kulit yang sangat populer, yaitu Gudig. Bahkan dimana saja, di Pesantren yang ada di Indonesia peluang Santri untuk terkena penyakit kulit ini sangat dimungkinkan. Pertanyaannya adalah, mengapa di Pesantren? Dan mengapa objek yang sering terkena itu justru para Santri?  Yups, untuk pertanyaan mengapa di Pesantren, itu memiliki kaitan erat dengan mengapa objek yang sering terkena itu dari kalangan Santri. Santri adalah seorang pembelajar. Khususnya dalam hal ilmu keagamaan. Sesuatu yang sangat mulia bukan? Bagi para Santri yang sebagai makhluk pembelajar yang akan menuju kemuliaan itulah yang mendasari alasan mengapa Gudig sering kali berinang pada komuntas ini. Tahukah Antum bahwa jalan untuk menuju kemuliaan itu tidaklah mudah. Butuh perjuangan, pengorbanan, serta keikhlasan yang di bersamakan dengan bersyukur. Analoginya seperti Ibarat orang mulia itu adalah pohon yang tinggi, semakin tinggi pohon tersebut pastilah semakin kencang angin yang menerpanya, ya nggak?  Jadi begitulah kehadiran gudig diantara kita    kaum sarungisme- yaitu memiliki peran sebagai uji coba mental kita sebelum kita menjadi orang besar. Antum –Insya Alloh-  adalah cikal bakal yang dipersiapkan Pesantren untuk memimpin ummat. Antum akan menjadi orang besar kelak –besar dalam arti mulia, bukan besar perutnya doang!- jadi, siapkanlah mentalmu untuk menghadapi gejolak kehidupan yang akan menerpamu. Dan Gudig, adalah salah satu tes atau cobaan yang akan mengajarimu banyak hal untuk tetap bertahan, bersabar, ikhlas serta mensyukuri segala keadaan.
 Gudig yang kita kenal jahat, merenggut kepercayaan diri, mengganggu aktivitas –karena lagi ngaji aja garuk-garuk, bikin nggak fokus- membuat kita sedikit terasing dari teman, di olok-olok, dan seabreg hal yang ditimbulkan gudig itu membuat kita jatuh dalam keterasingan. Tapi, Sob, di balik semua itu ada pelajaran yang sangat berharga bagi kita, bagi mental kita, dan pengembangan emosi –perasaan- serta olah pikir kita untuk menghadapi cobaan lainnya. Pelajaran bagi mental kita sudah jelas bahwa kita di di ajari untuk bermental percaya diri, meskipun gudig bersarang di tangan, kaki, dan daerah ‘rawan’ lainnya. Tetap tegar mengadapi ejekan, tatapan sinis yang tiap hari mengiris. Biarkan mereka mengejek, toh mereka dulunya juga kayak gitu, kalo dulu belum, mungkin suatu saat mereka juga akan mengidapnya -lho? Kok malahan mendoakan jelek?.
Karena gudig menjadi suatu ujian, maka sudah selayaknya kita bersabar, bahkan lebih baik kita mensyukurinya. Bersabar atas musibah itu biasa dan wajar. Tapi bagaimana jika bersyukur atas musibah dan ridlo akan apa yang Alloh berikan? Itu baru luar biasa!! Meskipun begitu, bukan berarti kita lupa untuk berikhtiyar, lho? Kita tetap berusaha untuk mengobatiny dan merawat agar tidak menimbulkan infeksi. Karena jika kita tidak mengobatinya dan terus menerus membiarkan Gudig ber-invansi ke seluruh penjuru tubuh, itu berarti kita telah berbuat dzolim terhadap diri kita sendiri, menyiksa, dan merusak diri. Nggak cuma diri kita yang merasa di sakiti, tetapi juga teman-teman yang ada di dekat kita juga merasa “aduhai” jika terus menerus di hadapkan dengan pemandangan yang “aduhai” juga –apalagi sewaktu makan bersama, walah jann… jadi kita tetap berusaha mengobatinya, pake salep juga bisa, pake obat spritus juga ada, obat pil juga tersedia, bedak boleh juga –wah hafal obat gudig, menandakkan pernah terkena nich- hehe…. Bukankah Alloh menurunkan suatu penyakit di dunia ini beserta obatnya? Pasti ada! Coba saja cari. Nggak punya obatnya? Minta sama teman. Malu? Beli. Nggak punya uang? Pinjam. Malu? Tutupan. Nggak punya tutup? Pake ember aja. Nggak punya ember? Beli. Nggak punya uang? Pinjem. Malu mau pinjam uang buat beli ember? Tutupan! Nggak punya tutup lagi? Jan, KEBANGETAN! Susah ngurusin orang kayak gini!
Hasil analisis saya –wah, gemaguse- terhadap Santri yang terkena penyakit Gudig ini, ternyata selain sebagai ujian ataupun cobaan, kehadiran Gudig ini juga menghasilkan sebuah dampak perilaku yang unik-unik. Lho, kok bisa? He-eh! Nggak percaya? Biar Antum percaya, saya tuliskan fenomena tingkah laku dari dampak kehadiran Si Gudig ini es-be-be:
1.    Adanya fenomena Musikalisasi Gudig.
Pada umumnya, penyakit Gudig ini menimbulkan rasa gatal pada bagian tubuh. Adanya rasa gatal tersebut memberikan stimulus terhadap otak agar menggerakkan tangan untuk menggaruk bagian yang gatal. Nah, kegiatan garuk-menggaruk inilah yang kemudian populer dikalangan Santri dengan istilah “nggitar”. Meskipun gerakan jemari tak selentik dalam memetik dawai-dawai gitar. Tapi, gerakkan yang pulang-balik, naik-turun dan berulang-ulang itulah yang terkesan mirip seperti orang yang sedang bermain gitar. Kadang malahan mereka bermusikalisasi dengan sengaja, yaitu dengan menggaruk dengan teori imitasi-nya. Maksudnya mereka meniru style para musisi. Ada yang seakan-akan bermain gitar, menabuh drum atau kendang, dan yang menggaruk dengan menekan-nekan dengan jari seperti halnya pemain keyboard! Meskipun suara yang dihasilkan adalah suara imitasi yang keluar dari mulut mereka. Dan menjadi daya tarik sendiri pastinya, jika ada Santri yang sedang menikmati kegiatan bermain “gitar” alaminya itu, maka Santri lain akan menyahuti dengan bunyi-bunyi alat musik lain, seakan mengiri seorang gitaris dengan drum, kendang, ataupun keyboard. Jadi, ketika “jreng… jreeng…” maka akan ada suara “dug-dug plak-ketiplak theng… theng…” dan setelah itu mereka bernyayi. Inilah yang dinamakan musikalisasi gudig. Keren, khan? Mau coba? Atau malahan sudah pernah mencoba? Hehe….
2.    Penemuan sarung tangan ekonomis.
Akhir-akhir ini, pertumbuhan bakteri gudig saya kira lebih “maju” dari pada tahun-tahun awal saya di Pondok. Pasalnya, gudig tahun sekarang lebih mampu ber-invansi sampai ke lengan tangan, pergelangan tangan, dan merambah habis sampai jari-jemarinya. Padahal, di zaman tempo doeloe –zaman saya masuk- gudig hanya tumbuh di daerah yang tertutup. Gudig pun paling awet bertahan sampai 2-3 bulan. Dan saya kira, gudig zaman modern ini rasanya sudah lebih berani menampakkan dirinya di muka umum -mungkin karena pengaruh Globalisasi kali, ya?-. hal ini membuat para Santri harus benar-benar berani dan sabar dalam menghadapinya. Lebih di butuhkan mental yang kuat, anti gengsi, dan berjiwa qona’ah. Gudig zaman modern inipun jangka waktunya saya kira lebih awet dari pada zaman doeloe. Tapi tenang saja, bagi Antum yang terkena gudig modern ini, saya doakan semoga pahala atas kesabaran dan ketabahannya serta rasa syukurnya di lipat gandakan. Bukankah pahala itu di sesuaikan dengan tingkat kesulitannya? Semakin sulit cobaan, semakin tinggi nilai pahalanya. Dalam istilah Arabnya, “Al-ajru bi qodri ta’abi” ya, kan? Ketika gudig sudah tumbuh di tangan, khususnya jari-jemari, saat itulah kesulitan hadir. Apalagi saat makan. Mau pake sendok, nggak ada. Mau pake tangan, jelas-jelas kotor dan bergudig. Mau buat “suruh” pake daun pisang, pasti nggak kuat. Nah, saat-saat sulit seperti itulah daya kreatif Santri tumbuh. Nggak pake sendok, nggak pake “suruh”, cukup dengan kresek bening yang biasanya buat membawa “jajan” dari Kantin. Kresek tipis, terkesan transparan, dan sangat higienis! Jadilah sarung tangan plastik yang ekonomis! Masalah makan, tinggal leebb… heemm…. lezzaaaatt….!!  


ayooo....!! jangan minder dan takluk loyo hanya karena gudig...!!!





Komentar

Postingan populer dari blog ini

fakta-fiktif, "TLEKEMONIKASI"

Menilik Hukum Perdagangan Manusia "Human Trafficking" dalam Perspektif Hukum Positif dan Hukum Islam

makalah bahasa Arab "Al-Mutsanna"